Ferdinandus Kaki Rangga Presidium Gerakan Kemasyarakatan (GERMAS PMKRI).

trimedianews.com – Kota Bogor.Aksi GMNI pada 21 Agustus 2025 menuai kontroversi setelah Pemerintah Kota Bogor melabelinya sebagai vandalisme.PMKRI menilai, penggunaan istilah tersebut merupakan penyederhanaan yang menyesatkan karena mengabaikan substansi keresahan mahasiswa.

GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) adalah organisasi kader bertradisi intelektual yang gerakannya lahir dari analisis, bukan sekadar tindakan tanpa dasar. Menyebut aksi mereka “vandalisme” sama saja dengan mereduksi mahasiswa menjadi perusak, padahal mereka tengah menyuarakan kegelisahan publik. Label negatif yang terburu-buru justru menutup ruang pemahaman dan merusak iklim demokrasi.


Pemerintah wali kota melalui Kepala Bagian Hukum dan Ham kota Bogor tidak perlu terlalu bereaksi terhadap penyampaian aspirasi kawan-kawan GMNI Bogor. Pasalnya kritik dan aspirasi yang disampaikan oleh peserta aksi bagian dari demokrasi. Aksi pencoretan, bakar ban dan aktivitas lain merupakan bagian yang tak terhindarkan saat aksi, karena aksi pencoretan secara psikologi bagian dari ekspresi emosi akibat ketidakadilan yang dirasakan.

Tidak perlu menjadikan alasan cagar budaya untuk mengalihkan point of view dari tuntutan mahasiswa. Cagar budaya menjadi lestari bukan hanya soal fisik saja melainkan ide-ide yang bersemayan dalam alam pikir orang-orangnya tentang bagaimana menjaga keadilan, kesejahteraan dan keseimbangan alam dan manusianya.Ujar Ferdinandus Kaki Rangga Presidium Gerakan Kemasyarakatan (GERMAS PMKRI).


Rencana Pemkot menempuh jalur hukum juga semakin menunjukkan kurangnya ruang dialog.Menghadapi mahasiswa dengan pendekatan hukum justru menutup peluang diskusi yang sehat, padahal, mahasiswa bukanlah lawan, melainkan mitra kritis bangsa yang harus dirangkul, PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) menegaskan, keresahan mahasiswa tidak pernah lahir begitu saja.

Pemerintah tentu tahu ada persoalan serius yang melatarbelakanginya. Karena itu, jalan yang paling bermartabat adalah membuka dialog terbuka, transparan, dan setara, bukan memilih cara represif melalui hukum,” tegas Ferdinandus.


Sejarah mencatat, mahasiswa adalah garda moral bangsa. Menyebut aksi mereka vandalisme, sementara pemerintah sendiri tidak konsisten menjaga fungsi cagar budaya, adalah pembalikan fakta yang mencederai akal sehat publik.

(Fhirman)

Tinggalkan Balasan