Keterangan Foto : Ilustrasi (HO/Ist)

trimedianews.com – Bogor.Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Barru (BEM UMBARA) menyatakan keprihatinan mendalam sekaligus sikap penolakan tegas terhadap Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025, yang membuka ruang luas bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil di luar institusi kepolisian.

BEM UMBARA menilai kebijakan ini tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung langsung dengan situasi demokrasi yang kian menyempit, ditandai oleh maraknya tindakan represif aparat terhadap mahasiswa dan masyarakat sipil, serta diabaikannya Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara ini.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXII/2025 secara jelas menyatakan bahwa penempatan polisi aktif di jabatan sipil tanpa mekanisme konstitusional yang ketat adalah inkonstitusional. Namun alih-alih mematuhi putusan tersebut, Perpol 10/2025 justru memperluas penempatan polisi aktif hingga ke 17 kementerian dan lembaga sipil, mulai dari sektor hukum, keamanan, ekonomi, sumber daya alam, hingga pelayanan publik.

Presiden Mahasiswa BEM UMBARA, Muhamad Afif Zaelani, menegaskan bahwa kondisi ini menunjukkan arah kebijakan negara yang berbahaya.

“Ketika putusan Mahkamah Konstitusi diabaikan, dan aparat keamanan justru diberi ruang lebih luas di birokrasi sipil, maka yang sedang dipertaruhkan bukan hanya kebijakan, tetapi supremasi hukum dan masa depan demokrasi,” ungkap Afif dalam siaran pers yang diterima trimedianews.com, Sabtu (20/12/2025).

Menurut BEM UMBARA, masuknya polisi aktif ke jabatan sipil berpotensi mengubah wajah birokrasi sipil menjadi birokrasi berbasis komando, yang bertentangan dengan prinsip pelayanan publik, meritokrasi, dan akuntabilitas. ASN yang seharusnya bekerja secara profesional dan independen dipaksa tunduk pada kultur hierarkis aparat keamanan.

BEM UMBARA juga menilai kebijakan ini sangat bermasalah jika dikaitkan dengan rekam jejak represif aparat dalam beberapa tahun terakhir. Pembubaran paksa aksi unjuk rasa, kekerasan terhadap demonstran, kriminalisasi aktivis, hingga minimnya penindakan terhadap aparat pelanggar HAM menunjukkan bahwa Reformasi Polri belum tuntas, bahkan cenderung mandek.

“Masalah utama hari ini bukan kurangnya polisi di kementerian, tetapi belum adanya pertanggungjawaban serius atas tindakan represif aparat. Memberi jabatan sipil kepada polisi aktif di tengah krisis akuntabilitas adalah langkah keliru dan berbahaya,” tegas Afif.

Selain itu BEM UMBARA juga menyoroti potensi konflik kepentingan yang akan muncul ketika polisi aktif menduduki jabatan di kementerian teknis. Dalam situasi tersebut, independensi penegakan hukum dipertanyakan karena aparat berpotensi memeriksa atau mengawasi institusi tempat mereka sendiri berkuasa.

Bagi BEM UMBARA, seluruh rangkaian ini menunjukkan satu kesimpulan besar,
negara sedang bergerak menjauh dari prinsip supremasi sipil dan reformasi sektor keamanan.

Oleh karena itu, BEM UMBARA menegaskan bahwa Reformasi Polri adalah agenda paling urgen dan tidak bisa ditunda. Reformasi harus diarahkan pada pembenahan internal, transparansi, penegakan hukum terhadap pelanggaran aparat, serta penguatan pengawasan sipil, bukan perluasan kekuasaan ke ruang-ruang sipil.

“Keamanan tidak boleh dibangun dengan pembungkaman. Demokrasi tidak bisa dijaga dengan kekerasan. Polisi harus kembali pada fungsi dasarnya, tunduk pada hukum, dan berada di bawah kendali sipil,” jelas Afif.

BEM UMBARA menyerukan kepada seluruh mahasiswa, akademisi, dan masyarakat sipil untuk tidak diam dan terus mengawal demokrasi dari segala bentuk penyimpangan kekuasaan yang dilegitimasi melalui regulasi.

Reformasi belum selesai.
Supremasi sipil adalah harga mati.

(Dody)

Tinggalkan Balasan