Yasser Abu Shabab pimpinan pasukan Populer.(Dok.The Guardian)

trimedianews.com – Jakarta.Dalam situasi yang semakin tidak stabil, milisi bersenjata dan geng-geng yang didukung oleh Israel kini menguasai sebagian wilayah Gaza, memperburuk krisis kemanusiaan yang telah berlangsung lama. Hal ini berpotensi mengancam segala upaya untuk menciptakan ketertiban, terutama jika rencana Donald Trump untuk Gaza terwujud.

Sepereti dilansir The Guardian selama beberapa bulan terakhir, militer dan dinas keamanan Israel telah mempersenjatai dan melatih kelompok-kelompok di Gaza sebagai alternatif terhadap Hamas. Strategi ini tampaknya mendapatkan momentum, dengan munculnya hingga selusin milisi baru yang beroperasi di wilayah tersebut.

Pasukan Populer yang disebut di bawah komandan bernama Yasser Abu Shabab telah beroperasi di wilayah selatan selama beberapa bulan , berkoordinasi erat dengan pasukan Israel di sekitar lokasi distribusi bantuan kontroversial yang dijalankan oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza, sebuah organisasi swasta yang tidak transparan yang didukung AS dan Israel.

Sekarang hingga selusin milisi baru telah muncul di sebagian besar Gaza , selain Pasukan Populer

Salah satu pemimpin milisi tersebut, Hossam al-Astal, mengungkapkan bahwa orang-orang di Gaza mulai merasa takut pada Hamas. Ia menegaskan, “Hari ini, ada kekuatan alternatif untuk Hamas.” Ia bahkan menyatakan siap bekerja sama dengan siapa pun demi melindungi kota mereka.

Namun, perkembangan ini menimbulkan masalah lebih lanjut bagi organisasi-organisasi bantuan yang sudah kesulitan menghadapi pembatasan Israel. Seorang pejabat dari lembaga bantuan menyatakan bahwa mereka kini berhadapan dengan “berbagai aktor yang berbeda” di Gaza, di mana hukum dan ketertiban semakin memburuk.

Dalam laporan terbaru, pemantau konflik independen mencatat lebih dari 220 insiden kekerasan intra-Palestina sejak Oktober 2023, yang mengakibatkan sekitar 400 kematian. Situasi ini semakin diperparah dengan penjarahan bantuan dan aktivitas kekerasan oleh geng-geng bersenjata.

Sementara itu, Hamas berusaha melawan milisi dan geng dengan membentuk unit-unit khusus untuk menargetkan penjarah dan kolaborator. Namun, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 66.000 warga Palestina, sebagian besar adalah warga sipil.

Astal, yang mengklaim tidak memiliki hubungan dengan Israel, menekankan bahwa perjuangannya adalah untuk rakyatnya sendiri. “Hari ini, saya memiliki kesempatan, jadi saya harus memanfaatkannya,” ujarnya. Meskipun menghadapi ancaman dari Hamas, ia menyatakan tidak takut.

Situasi di Gaza semakin rumit dengan rencana 20 poin Trump yang mengusulkan pembentukan sebuah dewan teknokrat untuk mengelola wilayah tersebut. Namun, para analis memperingatkan bahwa memberdayakan kelompok bersenjata di masyarakat yang terpecah belah dapat mempercepat konflik internal.

Astal menegaskan bahwa ia tidak takut dengan ancaman dari Hamas, yang telah berusaha untuk menjatuhkan hukumannya. “Saya tahu mereka mencoba menjatuhkan saya, tetapi saya tidak peduli,” katanya.

Perang ini dipicu oleh serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan penculikan sejumlah warga. Situasi di Gaza kini semakin mendesak, dan banyak yang berharap untuk menemukan solusi yang dapat mengakhiri krisis yang berkepanjangan ini.

(Fhirman)

Tinggalkan Balasan