trimedianews.com – Kota Bogor.Aksi vandalisme yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) saat menyampaikan aspirasinya di Balaikota Bogor, pada Kamis (21/8/2025), menuai perhatian publik.
Rosinar ( Ketua cabang GMKI Bogor) mengingatkan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor agar tidak bersikap reaktif dalam menanggapi peristiwa tersebut.
Ia mengungkapkan, hanya mengingatkan saja, kebetulan masih di bulan kemerdekaan, ketika Indonesia merdeka, kabar kemerdekaan kita dulu di ekspresikan dalam bentuk coret-coretan di dinding, Tan Malaka menggerakkan anak-anak muda di kota-kota besar untuk ‘menggoreskan’ pekikan kemerdekaan di tembok-tembok jalanan dan gedung-gedung.
Menurutnya vandalisme dalam sebuah aksi seharusnya tidak dilihat semata-mata sebagai bentuk kriminalitas, melainkan sebagai ekspresi kekecewaan yang lahir dari ruang dialog yang tidak terbuka. Meskipun cara yang ditempuh aktivis patut dikritisi, Pemkot tetap diminta bijak melihat akar masalah yang mendorong munculnya aksi tersebut.
“Pemkot jangan buru-buru memberi label negatif pada anak-anak GMNI. Itu hanya ekspresi spontan, meski memang kurang tepat. Pemerintah seharusnya lebih melihat substansi tuntutan mereka ketimbang reaktif pada bentuk luarnya,” ujar Rosinar pada Jum’at (22/8) kepada trimedianews.com.
Ia menambahkan, “sikap reaktif dengan ancaman hukum atau pernyataan yang keras justru berpotensi memperuncing ketegangan antara pemerintah dan mahasiswa. Padahal, GMNI adalah organisasi yang lahir dari tradisi intelektual dan pergerakan sosial yang punya sejarah panjang, Semangat keberpihakan dalam ideologi Marhaenisme adalah wujud partisipasi rakyat dalam sistem politik dan ekonomi tujuannya demi keadilan dan kesejahteraan”,ujarnya.
Sebaliknya, Pemkot diharapkan menempuh jalur dialog. Dengan membuka ruang komunikasi, aspirasi mahasiswa dapat disalurkan secara lebih konstruktif, tanpa harus menyalurkannya melalui coretan dinding atau simbol-simbol vandalisme.
“Kalau Pemkot bisa duduk bersama, mengajak bicara, bahkan melibatkan mereka dalam diskusi kebijakan publik, maka energi kritis mahasiswa bisa menjadi mitra yang produktif. Jangan justru dibenturkan dengan pendekatan represif,” tambahnya.
Aksi-aksi mahasiswa, termasuk GMNI, pada dasarnya lahir dari semangat idealisme yang peduli pada nasib masyarakat. Vandalisme hanyalah ekspresi yang muncul karena saluran formal dianggap tidak efektif. Oleh karena itu, Pemkot perlu lebih tenang, menahan diri, dan mengedepankan komunikasi yang sehat agar hubungan dengan kelompok mahasiswa tetap harmonis.
Pada akhirnya, kritik dalam bentuk apapun baik melalui tulisan, orasi, maupun aksi massa merupakan cermin dari partisipasi publik.Bagi pemerintah daerah, tantangan terbesarnya bukan sekadar menertibkan, melainkan merangkul. Dengan cara itu, demonstrasi dan bahkan vandalisme bisa diubah menjadi energi positif bagi pembangunan kota.
(Fhirman)