trimedianews.com – Jawa Barat.Kabupaten Cianjur hari ini berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Di saat tata kelola pemerintahan daerah menghadapi banyak persoalan serius, perhatian publik justru disuguhi fenomena pimpinan daerah yang lebih sibuk wara-wiri di TV ketimbang memastikan pengawasan internal berjalan tegas dan efektif. Lemahnya kontrol kepemimpinan inilah yang membuka ruang subur bagi oknum birokrasi untuk leluasa bermain proyek.

Situasi tersebut tercermin jelas dalam temuan Lembaga Center for Budget Analysis (CBA) terkait proyek Penanganan Jalan Pasir Nangka – Munjul yang dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten Cianjur. Proyek bernilai pagu Rp1,6 miliar ini menunjukkan indikasi kuat pengondisian tender dan persaingan semu, yang menegaskan rapuhnya tata kelola pengadaan di lingkungan Pemkab Cianjur.

Berdasarkan penelusuran CBA, ditemukan pola yang tidak dapat dianggap wajar. Dari puluhan peserta yang mendaftar, hanya sebagian kecil yang benar-benar mengajukan penawaran harga. Lebih mencolok lagi, empat peserta tercatat mengajukan harga yang sama persis hingga dua angka desimal, yakni Rp1.279.253.738,73.

Koordinator CBA, Jajang Nurjaman, menegaskan bahwa kesamaan harga hingga ke satuan rupiah dalam tender terbuka bukanlah kebetulan.
“Dalam praktik pengadaan yang sehat, mustahil empat badan usaha independen menghitung RAB dengan angka identik sampai ke rupiah. Ini bukan kompetisi wajar, tetapi indikasi kuat adanya koordinasi penawaran,” ungkap Jajang dalam siaran pers yang diterima trimedianews.com, Jum’at (26/12/2025).


CBA juga mencatat bahwa pemenang tender, QOTRUNADA, berasal dari kelompok harga identik tersebut. Pada saat yang sama, penawar terendah dengan nilai Rp1,257 miliar atau sekitar 78 persen dari HPS justru tidak dimenangkan. Pola ini menggambarkan skema klasik dalam tender sistem gugur, di mana penawaran paling efisien disingkirkan untuk memberi jalan bagi pemenang yang telah “diamankan”.

Lebih jauh, harga pemenang berada tepat di kisaran 80 persen dari HPS, batas psikologis yang kerap dijadikan zona aman agar penawaran tidak dicap tidak wajar. Fakta bahwa banyak peserta berhenti pada rentang harga yang sama menunjukkan adanya pengetahuan bersama atas harga kunci, bukan hasil persaingan yang lahir secara independen.

CBA juga menyoroti tidak adanya proses negosiasi harga, meskipun selisih antara HPS dan harga pemenang mencapai lebih dari Rp300 juta. Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius tentang komitmen efisiensi anggaran dan memperkuat kesan bahwa proses tender dijalankan sekadar menggugurkan kewajiban administratif.

“Efisiensi yang terlihat di atas kertas ini adalah efisiensi semu. Daerah justru dirugikan karena pengadaan tidak dijalankan berdasarkan prinsip persaingan yang adil, transparan, dan akuntabel,” ujar Jajang.

Dalam konteks inilah, CBA menilai kepemimpinan daerah, termasuk peran Wakil Bupati Cianjur, harus ikut bertanggung jawab secara moral dan politik. Ketika pengawasan melemah dan pimpinan daerah lebih sibuk membangun citra, maka jangan heran jika oknum pejabat teknis merasa bebas mengatur proyek.

Atas temuan tersebut, CBA mendesak Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan pihak berwenang lainnya untuk:

1. Melakukan audit menyeluruh terhadap proses evaluasi tender,

2. Menelusuri keterkaitan antar peserta dengan harga identik,

3. Memeriksa dasar gugurnya penawar terendah,

4. Mengevaluasi kinerja panitia pengadaan di Dinas PUPR Kabupaten Cianjur.

CBA menegaskan, jika pola pengadaan seperti ini terus dibiarkan, maka kerugian keuangan daerah, penurunan kualitas infrastruktur, dan runtuhnya kepercayaan publik hanyalah soal waktu. Lemahnya pengawasan di tingkat pimpinan daerah akan selalu menjadi celah bagi praktik pengondisian proyek untuk terus berulang.




(Dody)
Sumber :
Koordinator
Lembaga Center for Budget Analysis (CBA)
Jajang Nurjaman

Tinggalkan Balasan