trimedianews.com – Bogor.Serangkaian temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat atas pengelolaan keuangan dan pengadaan barang di RSUD Leuwiliang, Kabupaten Bogor, menuai sorotan publik. Meski laporan hasil pemeriksaan (LHP) telah diterbitkan, hingga kini aparat penegak hukum (APH) belum terlihat mengambil langkah signifikan. Publik pun mempertanyakan: “Mengapa APH tak bergerak?.Siapa yang membackup temuan BPK ini?”

RSUD Leuwiliang, salah satu BUMD plat merah Kabupaten Bogor, tercatat dua kali masuk dalam sorotan BPK melalui laporan resmi:

1. LHP BPK Pemkab Bogor Tahun Anggaran 2021

BPK menemukan penggunaan dua rekening terpisah di RSUD Leuwiliang untuk menampung dana penerimaan BPJS dan operasional rumah sakit. Menurut BPK, pola ini tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 126.

Selain itu, BPK menilai RSUD Leuwiliang juga melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pada Pasal 1 Ayat 10.Tanpa adanya surat keputusan (SK) Bupati terkait mekanisme pengelolaan dana, BPK menegaskan bahwa kondisi ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan rekening.

2. LHP Kepatuhan atas Belanja Infrastruktur Tahun Anggaran 2024

Dalam audit terbaru, BPK menemukan kejanggalan pada pengadaan Pneumatic Tube System (PTS) senilai Rp3,54 miliar. Temuan tersebut antara lain:

– Proses pengadaan tidak sesuai ketentuan tata cara penyelenggaraan katalog elektronik.

– Tidak ada rincian struktur harga dalam dokumen pengadaan.

– CV Liantas Java (CV LiJ) yang ditunjuk sebagai penyedia diketahui hanya bertindak sebagai subdistributor tanpa legalitas resmi sebagai distributor tunggal produk Sumetzberger.

– Penunjukan CV LiJ hanya berdasarkan surat dari PT KAS, tanpa dokumen legal yang dilegalisir notaris dan tanpa Surat Tanda Pendaftaran (STP) sebagai distributor sebagaimana diwajibkan oleh Permendag Nomor 24 Tahun 2021.

Dalam pemeriksaan fisik 16 Oktober 2024, BPK menemukan 222 unit Short Carrier With 2x Chips senilai total Rp777,97 juta belum terpasang, padahal pembayaran telah dilakukan penuh.

Menanggapi temuan BPK, Center for Budget Analysis (CBA) menegaskan bahwa pengembalian dana sebesar Rp777,97 juta oleh RSUD Leuwiliang tidak otomatis menutup potensi tindak pidana.

Koordinator Investigasi CBA, Jajang Nurjaman, menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara hanya bersifat administratif dan akuntansi, bukan penyelesaian hukum.

“Pengembalian kerugian negara bukan berarti kasusnya selesai. Jika ada indikasi kelalaian, rekayasa, atau persekongkolan, aparat penegak hukum tetap wajib memproses secara pidana. Dalam UU Tindak Pidana Korupsi jelas disebutkan, kerugian negara tetap harus ditelusuri siapa aktor, motif, dan prosesnya,” tegas koordinator CBA, Jajang Nurjaman kepada media, Senin (25/8/25).

CBA menambahkan bahwa persoalan utama bukan sekadar soal uang, melainkan soal prosedur dan kepatuhan terhadap regulasi. Dalam pandangan mereka, kasus RSUD Leuwiliang ini mencerminkan adanya potensi kelemahan perencanaan, pengawasan, dan transparansi.

“Ini soal tata kelola. Penyedia dipilih bukan dari distributor resmi, dokumen legalitas minim, hingga harga yang tidak jelas. Jika pola seperti ini dibiarkan, praktik serupa akan terus berulang. Audit investigatif lanjutan mutlak diperlukan,” tambah Jajang.

CBA menilai, tanpa adanya langkah serius dari aparat penegak hukum, risiko kejahatan sistemik akan semakin besar.

“Kalau hanya mengembalikan uang, pelaku bisa mengulang modus yang sama di proyek lain. APH harus memeriksa penyedia, pejabat pengadaan, dan penanggung jawab anggaran. Jika ada dugaan rekayasa tender atau konflik kepentingan, itu harus diungkap,” tutup Jajang.

Publik kini menunggu jawaban: “Mengapa APH tak bergerak? Siapa yang membackup temuan BPK ini?”

(Dody)

Sumber: Jajang Nurjaman (Koordinator CBA)

Tinggalkan Balasan