trimedianews.com – Jakarta.Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang perdana untuk pengujian materiil Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Sidang dengan nomor perkara 96/PUU-XXIII/2025 ini berlangsung pada Rabu (2/7/2025) di Ruang Sidang MK, dengan agenda perbaikan permohonan.
Permohonan ini diajukan oleh Fransiska Jeane, seorang advokat, dan Hans Adrian Lukman. Mereka mempertanyakan ketentuan dalam UU JPH yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam persidangan, Jeane menekankan pentingnya menguraikan pemahaman tentang halal dan haram menurut iman Kristen, yang bersumber dari Alkitab.
“UU JPH, menurut kami, adalah undang-undang yang berbasis syariat Islam. Pasal 1 ayat (2) UU JPH menyebutkan bahwa produk halal adalah produk yang dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam,” ungkap Jeane.
Para Pemohon menilai keberadaan UU JPH bertentangan dengan cita-cita para pendiri negara RI. Mereka merujuk pada sejarah pembentukan negara yang berlandaskan Piagam Jakarta, yang kemudian diubah saat pengesahan UUD 1945. Jeane menegaskan bahwa perubahan frasa dalam Piagam Jakarta yang awalnya mengatur kewajiban menjalankan syariat Islam telah dilanggar oleh UU JPH, yang diterapkan kepada semua umat beragama.
Dalam perbaikan permohonannya, Pemohon menegaskan bahwa UU JPH secara keseluruhan tunduk pada syariat Islam, yang berpotensi merugikan pemeluk agama lain. Mereka memberikan contoh nyata, seperti larangan festival kuliner non-halal di Mall Solo Paragon dan penutupan toko daging babi di Pasar Kemis, yang menunjukkan dampak dari penerapan UU JPH.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan bahwa kata “wajib” dalam Pasal 4 dan Pasal 26 ayat 2 UU JPH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sidang ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
(Fhirman)