trimedianews.com – Bogor.Hutang merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam Islam, hutang dianggap sebagai sebuah perjanjian yang harus dipenuhi. Namun, ada kalanya seseorang melalikan atau mengabaikan kewajiban untuk membayar hutang.
Melalikan hutang dianggap sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab dan dapat menimbulkan dosa. Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda bahwa seseorang yang berhutang dengan niat untuk tidak membayar adalah seorang penipu. Hal ini menunjukkan bahwa Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang melanggar janji.
Dikutip dari NUOnline, Ketika orang itu masih di dunia, Rasulullah saw memperingatkan, melalui hadits berikut ini:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا، أَدَّاهَا اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا، أَتْلَفَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
Artinya,“Siapa saja yang mengambil harta orang lain (berhutang) seraya bermaksud untuk membayarnya, maka Allah akan (memudahkan) melunasinya bagi orang tersebut. Dan siapa saja yang mengambilnya seraya bermaksud merusaknya (tidak melunasinya), maka Allah akan merusak orang tersebut,” (HR. Ibnu Majah).
Dijelaskan para ulama, siapa saja yang berhutang dengan niat akan melunasinya, maka Allah akan memberikan jalan kemudahan dalam melunasinya. Sebaliknya, orang yang berhutang, tetapi tidak ada niat untuk melunasinya, maka Allah akan membiarkan orang itu dalam kesulitan hidup.
Dijelaskan para ulama, siapa saja yang berhutang dengan niat akan melunasinya, maka Allah akan memberikan jalan kemudahan dalam melunasinya. Sebaliknya, orang yang berhutang, tetapi tidak ada niat untuk melunasinya, maka Allah akan membiarkan orang itu dalam kesulitan hidup.
Beratnya dosa orang yang melalaikan hutang, sampai-sampai ia terbunuh dalam keadaan syahid sekalipun, maka dosa hutang tetap tidak terampuni. Demikian sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw.
فِي الدَّيْنِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلًا قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ عَاشَ، ثُمَّ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ عَاشَ، ثُمَّ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ عَاشَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَقْضِيَ دَيْنَهُ
Artinya, “Dalam urusan hutang, demi Zat yang menggenggam jiwa Muhammad, seandainya seseorang terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup lagi, kemudian terbunuh lagi di jalan Allah, kemudian hidup lagi, kemudian terbunuh lagi di jalan Allah, kemudian hidup lagi, tetapi ia memiliki tanggungan hutang, maka ia tidak akan masuk surga sampai melunasi hutangnya,” (HR. Ahmad).
Pada saat kematiannya, orang yang berhutang tidak mendapat rida Allah swt. Hal itu tercermin dalam sikap Rasulullah saw ketika datang seorang jenazahnya kepadanya untuk dishalatkan. Namun, beliau menolak menshalatkannya. Beliau bertanya, “Apakah sahabat kalian ini memiliki hutang?”
Mereka menjawab, “Iya.”
Beliau bertanya lagi, “Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk melunasinya?”
Dijawab oleh mereka, “Tidak.”
Beliau mengatakan, “Shalatkan saja sahabat kalian itu oleh kalian!” Untungnya, ‘Ali bin Abi Thalib menyela, “Biarlah kewajibanku melunasi hutangnya.” Mendengar demikian, beliau berkenan maju dan menshalati jenazah orang tersebut. (HR. al-Bukhari).
Setelah berada dalam kubur, orang yang berhutang juga mengalami penyesalan yang luar biasa, sampai-sampai tangannya terbelenggu di tengkuknya, sebagaimana hadits Rasulullah saw, “Orang yang memiliki hutang, di alam kuburnya, tangannya terbelenggu. Tidak ada yang dapat melepaskannya hingga hutangnya dilunasi.”
Melalikan hutang dalam Islam merupakan tindakan yang tidak dianjurkan dan dapat membawa konsekuensi serius baik di dunia maupun di akhirat. Dengan memahami pentingnya memenuhi kewajiban hutang dan mengambil langkah-langkah preventif, seseorang dapat menjaga integritas dan kehormatan dalam masyarakat. Islam mengajarkan bahwa setiap perjanjian, termasuk hutang, harus dihormati dan dipenuhi, sebagai cerminan dari akhlak yang mulia.
(Fhirman)