trimedianews.com – Jawa Timur.Alih-alih menjadi terobosan menuju efisiensi energi dan pembangunan ramah lingkungan, proyek retrofitting Gedung Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya (PRKPCK) Provinsi Jawa Timur justru menyisakan banyak tanda tanya.
Proyek konstruksi senilai lebih dari Rp 34 miliar ini kini mendapat sorotan tajam dari Center for Budget Analysis (CBA) karena diduga sarat penyimpangan dan pengkondisian pemenang.
Dalam investigasinya, Koordinator CBA Jajang Nurjaman mengungkap indikasi kuat terjadinya praktik pelanggaran prosedur pengadaan, mulai dari ketidaksesuaian kompetensi teknis penyedia hingga potensi manipulasi dokumen pemilihan yang dilakukan oleh panitia lelang (Pokja_red).
Pemenang Tak Memiliki Kualifikasi Teknis Minimal
Berdasarkan data resmi yang dihimpun CBA, proyek dengan pagu anggaran Rp34.656.121.000 dan nilai negosiasi Rp32.048.830.755 ini dimenangkan oleh PT. Jaya Etika Beton. Namun, perusahaan tersebut hanya memiliki dua subklasifikasi dalam Sertifikat Badan Usaha (SBU), yaitu,
• BG009 – Konstruksi Gedung Lainnya
• BS010 – Bangunan Prasarana Sumber Daya Air
“Dua subklasifikasi tersebut sama sekali tidak mencerminkan kemampuan teknis dalam mekanikal, elektrikal, HVAC, atau pengelolaan energi, yang justru menjadi inti dari proyek retrofit menuju Bangunan Gedung Hijau (BGH),” ujar Jajang Nurjaman kepada awak media, Jum’at (20/06/2025).
Menurutnya, proyek retrofit BGH tidak bisa hanya diserahkan kepada perusahaan dengan spesialisasi sipil umum. Dibutuhkan integrasi teknologi cerdas dan sistem efisiensi energi yang hanya bisa ditangani oleh penyedia bersertifikasi di bidang teknis khusus.
Dokumen pemilihan diduga direkayasa
CBA juga menilai ada indikasi rekayasa dalam dokumen pemilihan yang disusun oleh Pokja. Dokumen tersebut tidak mencantumkan subklasifikasi wajib sebagai syarat mutlak yang seharusnya menyaring peserta berdasarkan kompetensi teknis.
“Ini bukan kelalaian administratif. Ini pengkondisian. Pokja menyusun dokumen sedemikian rupa agar penyedia tertentu yang tidak layak pun bisa diloloskan,” tegas Jajang. “Jika hal ini dibiarkan, maka pengadaan barang dan jasa hanya akan menjadi panggung sandiwara formalitas.”
Minim Efisiensi, Lemahnya Persaingan Sehat
Fakta lain yang memperkuat dugaan kejanggalan adalah minimnya efisiensi harga. Dari HPS yang ditetapkan, penawaran pemenang hanya turun sekitar 7,5%, dan hasil negosiasi hanya memangkas 0,76% dari nilai penawaran.
“Ini jelas mengindikasikan lemahnya daya tawar dan potensi persaingan tidak sehat. Dari 99 peserta yang mendaftar, hanya satu yang dinyatakan lulus? Sangat tidak logis,” ungkap Jajang.
“Apakah puluhan peserta lainnya digugurkan secara sistematis, atau memang hanya satu pihak yang dikondisikan untuk menang sejak awal?,” tambahnya.
Risiko Gagal Sertifikasi dan Potensi Kerugian Negara
CBA mengingatkan, proyek ini bukan proyek biasa. Tujuan utamanya adalah mewujudkan Bangunan Gedung Hijau yang bersertifikasi resmi. Tanpa penyedia yang memiliki kualifikasi teknis khusus, risiko gagalnya bangunan memenuhi standar BGH sangat tinggi.
“Jika gagal sertifikasi, negara bukan hanya kehilangan uang, tapi juga kehilangan reputasi. Ini adalah kerugian ganda: secara anggaran dan secara komitmen lingkungan,” kata Jajang.
CBA Minta Kontrak Ditunda, KPK dan Inspektorat Bertindak
Atas temuan ini, CBA secara resmi telah melaporkan dugaan penyimpangan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, CBA mendesak,
• Gubernur Jawa Timur untuk menunda pelaksanaan kontrak
• Inspektorat Provinsi Jawa Timur untuk melakukan audit investigatif menyeluruh
• KPK untuk menyelidiki indikasi rekayasa proses pengadaan
“Proyek green building ini tidak akan pernah menjadi ‘hijau’ jika sejak awal prosesnya justru penuh dengan praktik ‘abu-abu’,” tutup Jajang Nurjaman.
(Dody)